Rabu, 23 Januari 2013

Hukum Mengadakan Walimah



Hukum Mengadakan Walimah
Landasan hukum mengadakan Walimah mengacu pada hadis yang diriwayatkan oleh Anas Ibn Malik, Shafiyyah Binti Syaibah dan Buraidah sebagai berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى عَلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَثَرَ صُفْرَةٍ فَقَالَ مَا هَذَا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً عَلَى وَزْنِ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ قَالَ فَبَارَكَ اللَّهُ لَكَ أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ .
Artinya:" Dari Anas Ibn Malik bahwa Nabi pernah melihat bekas kekuningan pada Abdurrahman Ibnu Auf. Lalu beliau bersabda: "Apa ini?". Ia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah menikahi seorang perempuan dengan maskawin senilai satu biji emas. Beliau bersabda: "Semoga Allah memberkahimu, selenggarakanlah walimah walaupun hanya dengan seekor kambing."[1]

عَنْ أَنَسٍ قَالَ : أَقَامَ اَلنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ خَيْبَرَ وَالْمَدِينَةِ ثَلَاثَ لَيَالٍ يُبْنَى عَلَيْهِ بِصَفِيَّةَ فَدَعَوْتُ اَلْمُسْلِمِينَ إِلَى وَلِيمَتِهِ فَمَا كَانَ فِيهَا مِنْ خُبْزٍ وَلَا لَحْمٍ وَمَا كَانَ فِيهَا إِلَّا أَنْ أَمَرَ بِالْأَنْطَاعِ فَبُسِطَتْ فَأُلْقِيَ عَلَيْهَا اَلتَّمْرُ وَالْأَقِطُ وَالسَّمْنُ .
Artinya:" Anas berkata: Nabi pernah berdiam selama tiga malam di daerah antara Khaibar dan Madinah untuk bermalam bersama Shafiyyah (istri baru). Lalu aku mengundang kaum muslimin menghadiri walimahnya. Dalam walimah itu tak ada roti dan daging. Yang ada ialah beliau menyuruh membentangkan tikar kulit. Lalu ia dibentangkan dan di atasnya diletakkan buah kurma, susu kering, dan samin.[2]

حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ مَنْصُورِ بْنِ صَفِيَّةَ عَنْ أُمِّهِ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ قَالَتْ أَوْلَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى بَعْضِ نِسَائِهِ بِمُدَّيْنِ مِنْ شَعِيرٍ .
Artinya:"Mengabarkan kepada kami Sufyan dari Manshur Ibn Shafiyyah dari Ibunya Shafiyyah Bint Syaibah berkata: Nabi mengadakan Walimah sebagian istrinya dengan 2 mud gandum."[3]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ دُعِيتُ إِلَيَّ ذِرَاعٌ أَوْ كُرَاعٌ لَأَجَبْتُ وَلَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ ذِرَاعٌ أَوْ كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ .
Artinya:"Dari Abi Hurairah semoga Allah memberikan keridhaannya sesungguhnya Rasulullah bersabda: Seandainya aku diundang pada Walimah yang disediakan sebelah kaki kambing, niscaya aku akan datang. Seandainya aku diberikan hadiah sebelah kaki kambing, maka aku akan menerimanya."[4]

عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ لَمَّا خَطَبَ عَلِيٌّ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّهُ لَا بُدَّ لِلْعُرْسِ مِنْ وَلِيمَةٍ قَالَ فَقَالَ سَعْدٌ عَلَيَّ كَبْشٌ وَقَالَ فُلَانٌ عَلَيَّ كَذَا وَكَذَا مِنْ ذُرَةٍ .
Artinya:"Dari Ibn Buraidah dari bapaknya berkata: Tatkala Sayidina Ali melamar Siti Fatimah semoga Allah memberikan keridhaan kepada keduanya. Rasulullah bersabda: Hal ini semestinya diadakan Walimah. Periwayat hadis berkata: salah satu sahabat yang bernama Saad berkata: Saya akan memberikan kambing, dan sahabat lainnya berkata: saya memberikan sesuatu dan ada yang memberikan gandum."[5]

Para ulama sepakat tentang anjuran mengadakan pesta perayaan nikah, meskipun mereka berbeda pendapat tentang hukumnya. Hukum mengadakan berbagai Walimah yang disebutkan sebelumnya hukumnya sunnah. Adapun hukum mengadakan Walimatul Ursiy menempati posisi paling utama dalam kesunnahannya dari pada Walimah yang lainnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Imam Zakariyya al-Anshariy:
وَلِيمَةُ الْعُرْسِ آكَدُ الْوَلَائِمِ .
Artinya:"Mengadakan Walimatul Ursiy merupakan kesunnahan yang paling kuat diantara Walimah lainnya."[6]

          Imam Muhammad Ibn Ahmad al-Ramliy lebih tegas mengatakan:
( وَلِيمَةُ الْعُرْسِ ) بِضَمِّ الْعَيْنِ مَعَ ضَمِّ الرَّاءِ وَإِسْكَانِهَا ( سُنَّةٌ ) مُؤَكَّدَةٌ بَلْ هِيَ آكَدُ الْوَلَائِمِ لِثُبُوتِهَا عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلًا وَفِعْلًا .
Artinya:"Walimatul Ursiy dibaca dengan Dhammah Ain serta Dhammah atau Sukun huruf Ranya. Hukumnya sunnah muakkadah bahkan ia merupakan kesunnahan yang paling kuat diantara Walimah lainnya, karena adanya keterangan bahwa Rasulullah menetapkannya baik dengan perkataan dan perbuatannya."[7]

Imam Nawawiy al-Dimasyqiy mengatakan:
وَلِيمَةُ الْعُرْسِ سُنَّةٌ . وَفِي قَوْلٍ أَوْ وَجْهٍ وَاجِبَةٌ .


          Ada pendapat yang mengatakan bahwa mengadakan Walimah hukumnya adalah Fardhu Kifayah (kewajiban kolektif), pendapat ini dihikayatkan oleh Imam al-Shaimiriy:
وَحَكَى الصَّيْمِرِيُّ وَجْهًا ثَالِثًا : أَنَّ الْوَلِيْمَةَ فَرْضٌ عَلَى الْكِفَايَةِ فَاِذَا فَعَلَهَا وَاحِدٌ اَوِ اثْنَانِ فِي النَّاحِيَةِ اَوِ الْقَبِيْلَةِ وَشَاعَ فِي النَّاسِ وَظَهَرَ سَقَطَ الْفَرْضُ عَنِ الْبَاقِيْنَ .
Artinya:"Imam al-Shaimiriy menghikayatkan wajh yang ketiga: Bahwa mengadakan Walimah hukumnya Fardhu Kifayah, apabila satu orang atau dua orang mengadakan Walimah pada satu kampung atau Qabilah dan tersiar, maka gugurlah kewajiban bagi orang lainnya."[9]
          Mayoritas ulama mengatakan bahwa mengadakan Walimatul Ursiy hukumnya sunnah muakkadah (yang dikuatkan). Alasan mereka antara lain sabda Rasulullah kepada Abdurrahman Ibn Auf:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ .
Artinya: Adakanlah olehmu Walimah sekalipun dengan memotong seeokor kambing."
          Meskipun Rasulullah dalam sabdanya itu menggunakan Fiil Amr (kata yang mengandung perintah), namun perintah disini adalah sunah, karena tidak semua orang mampu mengadakan Walimah dalam satu pernikahan. Sebab perintah memotong kambing tersebut dianalogikan (diqiyaskan) dengan perintah melakukan Qurban dan Walimah lainnya.[10]
          Imam Ibn Thulun mengatakan:
وَأَمَّا سَائِرُ الْوَلاَئِمِ غَيْرُ وَلِيْمَةِ الْعُرْسِ، فَالْمَذْهَبُ الَّذِي قَطَعَ بِهِ الْجُمْهُوْرُ أَنَّهَا مُسْتَحَبَّةٌ وَلاَ يَتَأَكَّدُ تَأَكُّدَ وَلِيْمَةِ الْعُرْسِ ، وَطَرَدَ الْمُتَوَلِّي فِيْهَا الْوُجُوْبَ . وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حنبل: لاَ تُسْتَحَبُّ ودليلنا قوله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ دُعِيْتُ إِلَى ذِرَاعٌ لَأَجَبْتُ وَلَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ ذِرَاعٌ لَقَبِلْتُ " وَلِأَنَّ فِيْهِ إِظْهَارَ نِعَمِ اللهِ تَعَالَى وَالشُّكْرَ عَلَيْهَا وَاِكْتِسَابَ اْلأَجْرِ وَالْمَحَبَّةِ فَكَانَ مُسْتَحَبّاً.
Artinya:"Adapun Walimah selain Walimatul Ursiy, menurut pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama hukumnya adalah sunnah. Tidak sama kekuatan kesunnahannya dengan Walimatul Ursiy.  Syaikh al-Mutawalliy mengatakan wajib. Imam Ahmad berkata: Walimah selain Walimatul Ursiy tidak disunnahkan. Dalil kami Rasulullah bersabda: Seandainya aku diundang pada Walimah yang disediakan sebelah kaki kambing, niscaya aku akan datang. Seandainya aku diberikan hadiah sebelah kaki kambing, maka aku akan menerimanya. mengadakan Walimah merupakan perbuatan menunjukan ni'mat-ni'mat Allah dan ungkapan syukur atas ni'mat serta mencari pahala dan kecintaan yang merupakan anjuran."[11]

Khadimul Janabin Nabawiy
H. Rizqi Zulqornain al-Batawiy



اللَّهمَّ صَلِّوَاجْزِهِ عَنَّا عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَاجْزِهِ عَنَّا مَا هُوَ أَهْلُهُ حَبِيبِكَ، اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ هُمَا هُوَ أَهْلُهُ حَبِيبِكَ، اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَاجْزِهِ عَنَّا مَا هُوَ أَهْلُهُ حَبِيبِكَ، اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيمَ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَاجْزِهِ عَنَّا مَا هُوَ أَهْلُهُ خَلِيلِكَ، اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيمَ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَاجْزِهِ عَنَّا مَا هُوَ أَهْلُهُ خَلِيلِكَ، اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيمَ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَاجْزِهِ عَنَّا مَا هُوَ أَهْلُهُ خَلِيلِكَ، اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ وَرَحِمْتَ وَبَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ فِى الْعَالَمِينَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، عَدَدَ خَلْقِكَ وَرِضَاءَ نَفْسِكَ وَزِنَةَ عَرْشِكَ، وَمِدَادَ كَلِمَاتِكَ. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَدَدَ مَنْ صَلَّى عَلَيْهِ. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَدَدَ مَنْ لَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَدَدَ مَا صُلِّىَ عَلَيْهِ. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ أَضْعافَ مَا صُلِّىَ عَلَيْهِ. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا هُوَ أَهْلُهُ. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا تُحِبُّ وَتَرْضَى لَهُ.






[1] Riwayat Imam Bukhariy dan Imam Muslim, Redaksi di atas riwayat Imam Muslim hadis no: 2556.
[2] Imam Ibn Hajar al-Asqallaniy dalam kitab Bulugh al-Maram hadis no: 1046.
[3] Riwayat Imam Bukhariy dalam kitab Shahihnya hadis no: 4774.
[4] Riwayat Imam al-Bukhariy, dalam kitab Shahihnya hadis no: 2380.
[5] Riwayat Imam Ahnad Ibn Hambal dalam kitab Musnad hadis no: 21957.
[6] Imam Zakariyya al-Anshariy, Asna al-Mathalib Syarh Rawdh al-Thalib vol. 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah 2001) 447; Imam Ahmad Ibn Umar al-Muzajjad, al-Ubab al-Muhith Bi Mu'zham Nushush al-Syafii Wa al-Ashhab vol. 2 (Dar al-Minhaj 2009) h. 675.
[7] Imam Muhammad al-Ramliy, Nihayah al-Muhtaj Syarh al-Minhaj vol. 6 (Beirut: Dar al-Fikr 2004) h. 396.  
[8] Imam Nawawiy al-Dimasyqiy, Minhaj al-Thalibin (Surabaya: Dar al-Ihya) h. 92.
[9] Imam Yahya Ibn Salim al-Imraniy, al-Bayan Fi Fiqh al-Syafiiy vol. 9 (Beirut: Dar al-Kutub 2002) h. 440.
[10] Syaikh Abu Bakr Syatha, I'anah al-Thalibin vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr 2002) h. 407.
[11] Imam Ibnu Thulun, Fassh al-Khawatim Fi Ma Qila Li al-Walaim (Maktabah Syamilah 2008) h. 2.

Tidak ada komentar: